Warung Internet

Desember 07, 2010

BRIGADE MOBIL



       Brigade Mobil atau sering disingkat Brimob adalah unit (korps) tertua di dalam Kepolisian Republik Indonesia (Polri) karena mengawali pembentukan kepolisian Indonesia di tahun 1945. Korps ini dikenal sebagai Korps Baret Biru.
         Brimob termasuk satuan elit dalam jajaran kesatuan Polri, Brimob juga juga tergolong ke dalam sebuah unit paramiliter ditinjau dari tanggung jawab dan lingkup tugas kepolisian.


Sejarah Brigade Mobil
    Pasukan semi militer dan Militer serta polisi tugas khusus awal mulanya dibentuk oleh Jepang dengan tujuan untuk memenuhi kekurangan tenaga manusia untuk mendukung kepentingan perangnya. Kekurangan tenaga manusia ini diakibatkan karena kekalahan perangnya sejak awal tahun 1943 dengan situasi perang Pasifik yang mulai berubah. Kekalahan Jepang di tahun ini diantaranya kekalahan dalam pertempuran laut di sekitar Midway dan laut karang, jatuhnya kepulauan Saipan ke tangan Amerika serikat sehingga menimbulkan keresahan masyarakat Jepang serta hilangnya kapal-kapal angkut dan kapal perang Jepang seiring dengan terpukul mundurnya mereka dari Papua Nugini, Kepulauan Salomon dan Kepulauan Marshall.



   Kekalahan-kekalahan ini membuat Jepang menjadi defensife, sehingga Jepang mulai lebih intensif mencari dukungan masyarakat Indonesia dengan mendidik dan melatih para pemuda Indonesia di bidang militer atau semi militer. Awal maret 1943 akhirnya diresmikan berdirinya Seinendan atau atau Barisan Pemuda, Gakutotai atau Barisan pelajar, Keibodan atau Barisan Bantu Polisi, pembantu prajurit Jepang (Heiho) dan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA). Semua anggota barisan itu mendapat gemblengan patriotisme dan nasionalisme, latihan perang-perangan (Kyoren) dan baris berbaris. Latihan ini sangat sangat besar arti dan manfaatnya untuk melatih kedisiplinan, kemauan yang keras serta ketrampilan. Selain itu pelatih/guru bangsa Indonesia yang melatih juga memperkenalkan kebesaran tanah air Indonesia dengan menggunakan bahasa Melayu pada setiap pertemuan.

    Pada Jaman pendudukan Jepang, Kepolisian (Keisatsutai) mempunyai pasukan polisi dengan tugas-tugas khusus, yang dinamai Tokubetsu Keisatsu Tai (Polisi Istimewa), dan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia mereka menjadi Polisi Istimewa(PI) atau Pasukan Polisi Perjuangan (P-3) yang dibentuk di tiap-tiap Karesidenan. Polisi Istimewa ini merupakan satu-satunya badan kepolisian bentukan Jepang yang tetap diperkenankan untuk memegang senjata, memainkan peranannya memperkuat Barisan Perjuangan Rakyat Indonesia menetang penjajahan. Polisi Inilah yang kemudian merupakan cikal bakal terbentuknya Mobrig atau yang sekarang dikenal dengan nama Brigade Mobil Polri (Brimob Polri).

Proses Polisi Istimewa (PI) menjadi Mobile Brigade.

Pasukan-pasukan yang berada di tiap-tiap Karesidenan dengan nama Polisi Istimewa (PI) dan Pasukan Polisi Perjuangan(P-3) kemudian disusun kembali untuk mencapai persamaan dalam bentuk susunan, nama, tugas dan cara bekerja, mengingat masa sebelumnya menunjukkan tidak adanya persamaan, demikian juga hubungan antara Pasukan Karesidenan satu dengan lainnya belum teratur.


   Usaha Polri untuk memperoleh susunan organisasi diantara pasukan ini dan untuk membenahi organisasi serta memaksimalkan tugas-tugas Polri selanjutnya, khususnya dalam rangka mempertahankan kemerdekaan, pimpinan kepolisian menganggap perlu mengandakan reorganisasi yang tujuannya adalah agar kepolisian mencapai kesamaan dalam bentuk susunan, organisasi, tugas, dan tata cara bekerja yang tidak ada sebelumnya dengan membentuk Mobile Brigade (Mobrig) yang sekarang terkenal dengan nama Brigade Mobil (Brimob). Pembentukan Mobrig ini merupakan tahap penyempurnaan organisasi kepolisian dengan harapan pasukan ini dapat menjadi inti dari Kepolisian Negara dan menjadi pasukan mobil.

    Mobile Brigade atau disingkat Mobrig adalah suatu bagian (Onderdeel) dari Kepolisian Republik Indonesia yang dibentuk pada tanggal 14 Nopember 1945, berdasarkan Surat Perintah Kepala Muda Kepolisian R. Soemarto No. 12/18/91, yang menyatakan bahwa semua unsure pasukan Polisi Istimewa (PI) dilebur menjadi satu dengan nama baru yakni Mobile Brigade (Mobrig). Pembentukan Mobrig ini merupakan salah satu bentuk reorganisasi yang dilakukan oleh Jawatan Kepolisian Negara di Purwokerto. Selain itu, pembentukan satuan mobile Brigade ini juga telah diakui dan telah diakui oleh Panglima Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) Jenderal Soedirman dengan suratnya yang dikeluarkan pada tanggal 4 agustus 1947.

Susunan organisasi Mobrig ini dibagi menjadi 3 daerah, yaitu Mobile Brigade Besar Djawatan, Mobile Brigade Besar Djawa tengah dan Mobile Brigade Besar Jawa timur, yang masing-masing langsung bertanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Negara. Untuk Mobile Brigade Brigade Besar Djawatan berkedudukan di Purwokerto, Mobile Brigade Besar Jawa tengah berkedudukan di Surakarta. Kepala Kepolisian Karesidenan Surakarta secara taktis membawahinya, tetapi instruksi-instruksi langsung dari Kepala Kepolisian Negara. Sedangakan Mobile Brigade Besar Jawa timur yang yang berkedudukan semuala di Sidoarjo, kemudia pindah ke Malang. Mobile Brigade Besar Jawa timur ditunjuk sebagai koordinator dari semua kesatuan Mobil Brigade yang ada di dalam lingkungan tersebut. Pembentukan Mobile Brigade ini tidak mengakibatkan penambahan anggota polisi baru, karena mereka diambil dari anggota Kepolisian Umum. Dalam susunan baru ini, hubungan dan tata cara bekerja Mobile Brigade diatur secara khusus dan pada hakekatnya Korps Mobrig yang terbentuk itu merupakan kekuatan tempur samapta (ready striking force) bagi Polri.



    Di tiap-tiap Karesidenan juga dibentuk Mobile Brigade Karesidenan dengan kekuatan kurang lebih 100 anggota. Kesatuan ini dikepalai oleh seorang Inspektur Polisi klas I atau II dengan sebutan Komandan Mobile Brigade Karesidenan. Secaraadministratif organisatoris dan taktis kesatuan Mobrig ada di bawah pimpinan kepala-kepala polisi Karesidenan.

    Disamping pasukan-pasukan Karesidenan, diadakan lagi pasukan cadangan di Purwokerto di bawah pimpinan seorang Komisaris Polisi, yang langsung menerima perintah dari dan tanggung jawab kepada Kepala Kepolisian Negara, pasukan ini disebut Mobile Brigade Besar Djawatan. Pada waktu serangan tentara Belanda yang pertama dilakukan terhadap Republik Indonesia, kesatuan ini mengambil bagian dalam pertahanan Karesidenan Banyumas, kemudia dipindah kedudukannya di Jogjakarta. Sebagai pasukan cadangan Djawatan, yang memindahkan kedudukannya ke Ibukota Negara Republik Indonesia. Pasukan cadangan ini diperkuat dengan satu kompi Mobile Brigade yang hijrah dari Priangan. Mobile Brigade Djawatan dihapuskan setelah Jogjkarta dikembalikan oleh Belanda kepada Republik Indonesia. Dengan demikian, kepindahan markas kepolisian ke Purwokerto menjadi suatu momentum penting dalam melakukan reorganisasi, seiring dengan kepentingan terhadap tuntutan masa revolusi yang melingkupnya.

    Di Surakarta ada juga pasukan cadangan, yakni Mobile Brigade Besar Jawa tengah yang secara dministratif langsung di bawah Djawatan Kepolisian pusat. Kepala polisi Karesidenan Surakarta dikuasakan oleh Kepala Kepolisian Negara untuk memegang pimpinan taktis dan dalam hal ini langsung menerima instruksi-instruksi dari Kepala Kepolisian Negara, Perkembangan selanjutnya pasukan ini berkedudukan di Semarang.



    Selain itu, pasukan cadangan juga ada di Jawa timur, Mobile Brigade Besar Jawa timur berkedudukan berturut-turut berada di Sidoarjo dan Malang sebelum “Aksi Polisionil” pertama, di Blitar dan Madiun sebelum aksi kedua dan terakhir di Surabaya. Komandan Mobile Brigade ini menerima perintah langsung dari kepala Djawatan Kepolisan Negara dan administrative langsung di bawah djawatan. Tiap-tiap pasukan cadangan dikepalai oleh seorang Komisaris Polisi atau Inspektur Polisi Tk 1 (Jawa tengah) dengan sebutan Komandan Mobile Brigade Besar, kekuatan pasukan berjumlah antara 400 sampai 600 orang.

   Pokok tujuan dari pembentukan Mobrig ini adalah untuk memperoleh pasukan-pasukan kecil sebagai inti dari kepolisian yang kuat dan mobile, sebagai psukan gerak cepat dan merupakan tulang punggung dari kepolisian yang kurang kuat persenjataannya pada waktu itu.Pasukan bersenjata ini memberikan sumbangan yang sangat besar artinya bagi usaha pertahanan negara.

 Mobile Brigade pada umumnya memenuhi maksud pembentukannya, yakni memberikan bantuan sekuat-kutanya dalam usaha pemerintah daerah untuk menyelenggarakan keamanan dan ketentraman umum khususnya dan pada umumnya turut menegakkan kedaulatan negara. Pasukan ini menunjukkan kegiatan dan ketangkasan yang menyebabkan termasyurnya nama Mobrig di kalangan masyarakat, sehingga umum memandang Mobrig sebagai alat kekuasaan tersendiri disamping polisi dan tentara. Di samping melakukan tugas kepolisian, Mobile Brigae ditunjuk untuk melakukan tugas-tugas preventif, sedangkan untuk tugas-tugas represif harus diserahkan pada satuan polisi biasa.



    Pembentukan Mobrig mula-mula tidak mengakibatkan penambahan pegawai polisi; anggotanya dipilih dari pegawai-pegawai polisi yang ada di daerah, yang berusia muda, sehat, kuat dan belum kawin. Mobrig ini anggotanya tersusun dalam group(6-7 orang), 3 group menjadi 1 Brigade, 3 Brigade menjadi 1 seksi dan 2 seksi membentuk 1 kompi. Group ini dipimpin oleh seorang Agen Polisi Tk 1 atau komandan Polisi, Brigade dipimpin oleh Komandan Polisi, seksi dipimpin oleh Pembantu Inspektur Polisi dan untuk tingkat Kompi dipimpin oleh Inspektur Polisi.

Persenjataan yang dipakai saat itu berupa Karabin dan Mitraliur, sedangkan untuk tiap-tiap Seksi dilengkapi dengan sebuah truk. Seluruh pasukan harus diasramakan, agar senantiasa pasukan dapat digerakkan dengan cepat untuk menjaga disiplin, moril dan untuk mencegah pengaruh burukdari luar.


Kewajiban yang harus dilaksanakan anggota Mobile Brigade antara lai: mengikuti latihan-latihan praktis, latihan berjalan, latihan patroli, latihan berbaris dan sebagainya, mengikuti pendidikan teori tentang kepolisian, latihan menembak serta berolah raga. Kewajiban tersebut dimaksudkan adalah untuk memperbaiki disiplin para anggota dan dan menambah teori tentang kepolisian, agar dalam melaksanakan tugas senantiasa tetap mempertahankan siftnya sebagai alat kepolisian.

Perubahan Mobile Brigade menjadi brigade Mobil Polri (Brimob Polri).

    Sesuai dengan perkembangan keadaan, maka pada saat peringatan HUT Brimob tanggal 14 nopember 1961, sebutan Korps Mobile Brigade telah diganti sendiri oleh Presiden Soekarno selaku Kepala Negara dengan sebutan Korp Brigade mobile (disesuaikan dengan istilah bahasa Indonesia yang baku dan benar berdasarkan hokum DM). Dan pada saat itu pula Korps brigade mobile polri mendapatkan penghargaan Nugraha Sakanti Jana Utama berdasarkan bahwa Korps Brimob dalam jangka waktu 15 tahun sejak didirikannya tanggal 14 nopember 1961 dengan penuh kewaspadaan telah berbakti dan berdarma guna kepentingantugas kepolisian sehingga sebagai kesatuan yang terpercaya patut menjadi tauladan yang dapat memajukan sifat-sifat kepolisian sejati (Surat Keputusan Presiden RI No. 591 tahun 1961). Dengan penghargaan ini Korps Brigade mobile adalah satu-satunya kesatuan yang pertama mendapatkan penghargaan dari pemerintah.

    Dan pada saat pelaksanaan HUT Korps Brimob Polri yang ke –XX (Dua puluh) tahun 1965, Presiden Soekarno dalam sambutannya juga mengakui akan peran serta satuan Brimob Polri dalam menghadapai peristiwa “Gerakan 30 September”.

Peran dan fungsi Brimob


    Fungsi brimob Polri tidak hanya sebatas menegakkan hokum sebagaimana polisi di Negara-negara lain: Carbineri sebagai polisi Italia, Border security Police sebagai Polisi Jerman, Gendarmeri sebagai Polisi Prancis dan lain-lain, tetapi juga ikut aktif berjuang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Karena itulah, Angkatan Kepolisian (sekarang Polri) dengan ketiga angkatan lainnya (AD, AL, AU) merupakan bagian yang tak terpisahkan.

    Peran Brimob sebagai salah satu unsur keamanan dalam negeri terus meningkat, sehingga pasukan ini aktif menumoas Gerombolan Pengacau Keamanan di seluruh wilayah Indonesia. Sejak kepemimpinan Brigjend Pol. K.E. Lumy (1975-1978), Brimob selalu terlibat dalam operasi pengamanan timor-timur. Keaktifan tersebut terus dijalankan secara estafet oleh para Danpus Brimob selanjutnya.

    Disamping aktif dalam tugas pertahanan dan keamanan negari, brimob juga menjalankan kewajibannya selaku satuan kepolisian. Pada dasarnya, pasukan hamba hukum ini dirancang untuk mengayomi sekaligus melindungi warga masyarakat beserta harta bendanya agar terhindar dari ancaman gangguan pihak lain yang ingin memaksakan kehendak dengan cara kekerasan. Dalam menjalankan fungsinya sebagai penegak hokum, motto Brimob adalah “dimanapun berada selalu membawa ketentraman bagi masyarakat sekitarnya”. Untuk mewujudkan obsesinya, Brimob bersama-sama dengan unsure pelaksanann operasional kepolisian yang lain berhasil menggulung dan mengungkap sebagian besar tindak kejahatan dengan kekerasan yang sering terjadi di kota-kota besar.

     Satuan Brimob memang dibentuk khusus menanggulangi ancaman serta gangguan kamtibmas terutama dalam menghadapi pelanggaran hukum dengan intensitas tinggi yang memerlukan pencegahan dan penindakan secara khusus dalam bentuk ikatan kesatuan yang dapat bergerak secara cepat dan mobile, seperti kerusuhan massa atau tindak kejahatan yang terorganisir. Inilah yang membedakan tugas dan kewajiban anggota Korps Brigade mobile dengan Polisi pada umumnya. Karena sering menangani jaringan kejahatan terorganisir, maka anggota pasukan ini kerap kali bekerjasama dengan pihak Kepolisian Internasional.


Menghadapi Gerakan Separatis


Pada 1 Agustus 1947, Mobrig dijadikan satuan militer. Dalam kapasitasnya ini, Mobrig terlibat dalam mwenghadapi berbagai gejolak di dalam negeri. Pada tahun 1948, di bawah pimpinan Moehammad Jasin dan Inspektur Polisi II Imam Bachri bersama pasukan TNI berhasil menumpas pelaku Peristiwa Madiun di Madiun dan Blitar Selatan dalam Operasi Trisula. Mobrig juga dikerahkan dalam menghadapi gerakan separatis DI/TII di Jawa Barat yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo dan di Sulawesi Selatan dan Aceh yang dipimpin oleh Kahar Muzakar dan Daud Beureueh. Pada awal tahun 1950 pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin Kapten Raymond Westerling menyerbu kota Bandung. Untuk menghadapinya, empat kompi Mobrig dikirim untuk menumpasnya.

Mobrig bersama pasukan TNI juga dikerahkan pada April 1950 ketika Andi Azis beserta pengikutnya dinyatakan sebagai pemberontak di Sulawesi Selatan. Kemudian ketika Dr. Soumokil memproklamirkan berdirinya RMS pada 23 April 1950, kompi-kompi tempur Mobrig kembali ditugasi menumpasnya.
Pada tahun 1953, Mobrig juga dikerahkan di Kalimantan Selatan untuk memadamkan pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh Ibnu Hajar. Ketika Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) diumumkan pada 15 Februari 1958 dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai tokohnya, pemerintah pusat menggelar Operasi Tegas, Operasi Saptamarga dan Operasi 17 Agustus dengan mengerahkan Mobrig dan melalui pasukan-pasukan tempurnya yang lain. Batalyon Mobrig bersama pasukan-pasukan TNI berhasil mengatasi gerakan koreksi PRRI di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Timur, Riau dan Bengkulu.
Dalam Operasi Mena pada 11 Maret 1958 beberapa kompi tempur Mobrig melakukan serangan ke kubu-kubu pertahanan Permesta di Sulawesi Tengah dan Maluku.
Brimob pernah terlibat dalam beberapa peristiwa penting seperti Konfrontasi dengan Malaysia tahun 1963 dan aneksasi Timor Timur  tahun 1975. Brimob sam ai sekarang ini kira-kira berkekuatan 30.000 personil, ditempatkan di bawah kewenangan Kepolisian Daerah masing-masing provinsi. Pada 14 November 1961 bersamaan dengan diterimanya Pataka Nugraha Sakanti Yana Utama, satuan Mobrig berubah menjadi Korps Brigade Mobil (Korps Brimob).

Semenjak tahun 1992 Brimob pada dasarnya adalah organisasi militer para yang dilatih dan diorganisasikan dalam kesatuan-kesatuan militer. Brimob memiliki kekuatan sekitar 12.000 personel. Brigade ini fungsi utamanya adalah sebagai korps elite untuk menanggulangi situasi darurat, yakni membantu tugas kepolisian kewilayahan dan menangani kejahatan dengan tingkat intensitas tinggi yang menggunakan senjata api dan bahan peledak dalam operasi yang membutuhkan aksi yang cepat. Mereka diterjunkan dalam operasi pertahanan dan keamanan domestik, dan telah dilengkapi dengan perlengkapan anti huru-hara khusus. Mereka telah dilatih khusus untuk menangani demonstrasi massa. Semenjak huru-hara yang terjadi pada bulan Mei 1998, Pasukan Anti Huru-Hara (PHH) kini telah menerima latihan anti huru-hara khusus.Dan terus menerus melakukan pembaharuan dalam bidang materi pelaksanaan Pasukan Huru-Hara (PHH).
Beberapa elemen dari Brimob juga telah dilatih untuk melakukan operasi lintas udara. Dan juga sekarang sudah melakukan pelatiahan SAR (Search And Rescue)

Brimob dalam Peristiwa

Pendaratan Di Irian Barat
Korps Brimob Polri mempesiapkan sejumlah Resimen Tim Pertempuran (RTP) di pulau-pulau di Provinsi Maluku yang terdekat dengan Irian Barat sebagai respon atas perintah Presiden Soekarno untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Perintah Bung Karno itu dikenal sebagai Tri Komando Rakyat (Trikora). Dalam operasi ini Korps Brimob bergabung dalam Komando Mandala pimpinan Mayjen Soeharto. Satu tim Brimob pimpinan Hudaya Sumarya berhasil mendarat di Fak-Fak Irian Barat menggunakan sebuah speedboat. Dari Fak-Fak pasukan ini menusuk masuk ke pedalaman Irian Barat untuk mengibarkan Sang Saka Merah Putih. Pada masa olah Yudha sebelum pendaratan di Papua, Brimob sempat dimasukkan kedalam daftar unit untuk operasi Naga, tetapi kemudian di batalkan mengingat terbatasnya kualitas Parasut yang dimiliki anggota Brimob saat itu. Operasi Naga akhirnya dilakukan oleh RPKAD dibawah komando Jend (purn) Benny Moerdani yang kemudian mendapatkan penghargaan Bintang Sakti dari Presiden Soekarno.

Peristiwa G-30-S
Pada hari-hari setelah peristiwa G-30-S, Brimob tetap netral. Hal ini membingungkan banyak pihak, karena pada September 1965 Brimob adalah unsur yang sangat dekat dengan Amerika. Karena sikap ini, sebagian pengamat menganggap Brimob sebagai unsur yang setia kepada Presiden Soekarno.

Timor - timur

Pada pembebasan Timor Timur tahun 1975 Brimob membentuk satu detasemen khusus untuk bergabung dalam Operasi Seroja, bergabungan dengan pasukan ABRI lainnya. Detesemen khusus ini diberinama Detasemen Khusus (Densus) Alap-alap. Personil Densus Alap-alap terdiri dari mantan anggota Menpor (Resimen Pelopor). Resimen Pelopor merupakan kesatuan khusus Brimob, yang berkualifikasi Ranger. Resimen ini dibubarkan tahun 1974 setelah ikut malang melintang dalam beberapa operasi pertempuran, di antaranya dalam Operasi Trikora di Irian Barat dan Dwikora atau Ganyang Malaysia.
Densus Alap-alap bertugas sebagai pasukan pembantu (supporting) untuk memperkuat posisi yang direbut oleh pasukan ujung tombak yaitu RPKAD. Densus Alap-alap ini dibagi dalam tim-tim kecil yang merupakan tim gabungan TNI/Polri.
Peristiwa Binjai
Semenjak Polri dipisahkan dari Tentara Nasional Indonesia, peristiwa bentrok antara Polri dan TNI (terutama TNI-AD) kerap terjadi. Satu peristiwa bentrok TNI-AD dan Polri dalam hal ini Brimob adalah peristiwa Binjai pada tanggal 30 September 2002. Insiden ini melibatkan unit infanteri Lintas Udara 100/Prajurit Setia dengan korps Brimob Polda Sumut yang sama-sama bermarkas di Binjai. Banyak pihak merasa kejadian bentrok TNI-POLRI adalah manifestasi politik adu domba yang dilakukan pihak asing untuk memperlemah kesatuan dan persatuan lembaga kepemerintahan RI. Melihat gelagat tersebut, Bapak Jenderal Polisi Soetanto telah mengusulkan kemungkinan penyatuan kembali matrikulasi akademi militer dan kepolisian. Hal ini diharapkan agar dapat meningkatkan persaudaraan dan kohesifnes daripada undur aset unsur bersenjata NKRI.
Dalam insiden dini hari tersebut pertama hanya dipicu oleh keributan kecil antara oknum prajurit unit Linud 100/PS dengan oknum kesatuan Polres Langkat. Namun kemudian, insiden pecah menjadi bentrok senjata antara Polres Langkat ditambah Brimob melawan Linud 100/PS.


Gegana


Di tahun 1981 Brimob membentuk sub unit baru yang disebut unit Penjinak Bahan Peledak (Jihandak).


Gegana adalah bagian dari Kepolisian Indonesia (Polri). Pasukan ini mulai ada sejak tahun 1976, meski ketika itu baru berupa detasemen. Baru pada tahun 1995, dengan adanya pengembangan validasi Brimob bahwa kesatuan ini harus memiliki resimen, Detasemen Gegana lalu ditingkatkan menjadi satu resimen tersendiri, yakni Resimen II Brimob yang sekarang berubah nama Sat I Gegana(2003). Tugas utama Gegana ada tiga: mengatasi Teror, SAR dan Jihandak (penjinakan bahan peledak).
Secara umum, hampir semua anggota Gegana mampu melaksanakan ketiga tugas utama tersebut. Namun, kemampuan khusus yang lebih tinggi hanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Gegana tidak memiliki Batalyon atau pun Kompi. Kesatuan yang lebih kecil dari resimen adalah detasemen. Setelah itu subden dan yang paling kecil adalah unit. Satu unit biasanya terdiri dari 10 orang. Satu subden 40 orang, dan satu detasemen beranggotakan 280-an orang.
Satu operasi biasanya dilakukan oleh satu unit. Karena itu, dari sepuluh personel dalam satu unit tersebut, harus ada enam orang yang memiliki kemampuan khusus. Masing-masing: dua orang memiliki kemampuan khusus yang lebih tinggi di bidang jihandak, dua orang di bidang SAR dan dua lagi ahli teror. Kedua orang itu disebut operator satu dan operator dua. Yang lainnya mendukung.
Misalnya untuk teror: operatornya harus memiliki keahlian menembak jitu, harus memiliki kemampuan negosiasi, ahli dalam penggebrekan dan penangkapan. Namun semuanya tidak untuk mematikan. Sebab setiap operasi Gegana pertama-tama adalah berusaha untuk menangkap tersangka dan menyeretnya ke pengadilan. Kecuali dalam keadaan terpaksa, yang mengancam jiwa orang yang diteror, barulah terpaksa ada penembakan. Sementara untuk SAR, dituntut memiliki kemampuan dasar seperti menyelam, repling, jumping, menembak, juga  P3K.
Demikian pula, operator jihandak harus memiliki keahlian khusus di bidangnya. Setiap anggota Gegana secara umum memang sudah diperkenalkan terhadap bom. Ada prosedur-prosedur tertentu yang berbeda untuk menangani setiap jenis bom, termasuk waktu yang dibutuhkan. Kepada anggota Gegana jenis-jenis bom tersebut dan cara-cara menjinakkannya, termasuk risiko-risikonya, sudah dijelaskan.
Gegana baru punya tiga kendaraan taktis EOD (explosive ordinance disposal) yang sudah lengkap dengan alat peralatan. Padahal seharusnya, setiap unit memiliki satu kendaraan taktis. Selain di Gegana, kendaraan EOD masing-masing satu unit ada di Polda Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jadi se-Indonesia baru ada enam unit.
Dengan merosotnya pamor Amerika Serikat di dunia, pemerintah Amerika berupaya untuk menggalang dukungan politis dari berbagai negara Asia. Salah satu cara Amerika Serikat mencari dukungan ke Indonesia adalah dengan kerjasama anti terror yang meningkat antara kedua belah pihak. Dapat dilihat di periode 2003-2008, teknik dan takti dari Densus-88 semakin mirip dengan teknik dan taktik FBI HRT (Hostage rescue team)Selain itu peralatan yg digunakan oleh Densus-88 juga sama dengan pasukan FBI. Contoh peralatan yang sama adalah senapan serbu AR-15 dengan M-68 sight optik dan kolapsible stock (tipe CQB) Ladder entry teknik, kevlar helmet dll. Sampai saat ini Densus-88 berkonsentrasi untuk pengejaran dan penangkapan terroris yang relatif berkemampuan tempur rendah, sementara pertempuran spesial seperti Pembajakan pesawat dan pembebasan presiden dari penyanderaan masih ditangani oleh unsur TNI. Adapun topik pemberantasan teroris di Indonesia telah menjadi salah satu topik pembicaraan hangat di Trunojoyo III dan Cilangkap mengenai pembagian tugas didalam pelaksanaan counter terror. POLRI memang telah mendapatkan mandat UU untuk memerangin teror di dalam negeri, tetapi para banyak kalangan merasa POLRI belum dapat beroperasi secara independent untuk memerangi teroris tanpa bantuan unsur luar (FBI dan Australian Federal Police) sehingga para pengamat merasa sangat lebih baik bila POLRI bergabung bersama TNI daripada menerima bantuan dari pihak luar. Sementara itu para pengamat juga merasa bahwa pihak luar melakukan "quota" dari segi ilmu yang dibagi kepada Densus-88, salah satu cntoh adalah ditolaknya program pengembangan penembak runduk/jitu Brimob oleh markas FBI di Washington DC dengan alasan bahwa ilmu penembak jitu jarak jauh dapat di aplikasikan sebagai alat pelanggar hak asasi manusia (Opressive force)
Komando tertinggi setiap operasi Gegana langsung berada di bawah Kapolri yang dilaksanakan oleh Asop Kapolri.
Sat Brimob Daerah




  1. Sat Brimob Polda NAD
  2. Sat Brimob Polda Sumatra Utara
  3. Sat Brimob Polda Riau
  4. Sat Brimob Polda Kepulauan Riau
  5. Sat Brimob Polda Sumtra Barat
  6. Sat Brimob Polda Jambi
  7. Sat Brimob Polda Bengkulu
  8. Sat Brimob Polda Sumsel
  9. Sat Brimob Polda Lampung
  10. Sat Brimob Polda Metro
  11. Sat Brimob Polda Jawa Barat
  12. Sat Brimob Polda Banten
  13. Sat Brimob Polda Jawa Tengah
  14. Sat Brimob Polda DIY
  15. Sat Brimob Polda Jawa Timur
  16. Sat Brimob Polda Bali
  17. Sat Brimob Polda NTB
  18. Sat Brimob Polda NTT
  19. Sat Brimob Polda Kalbar
  20. Sat Brimob Polda Kalteng
  21. Sat Brimob Polda Kalsel
  22. Sat Brimob Polda KAltim
  23. Sat Brimob Polda Sulawesi Utara
  24. Sat Brimob Polda Gorontalo
  25. Sat Brimob Polda Sulawesi Tengah
  26. Sat Brimob Polda Sulawesi Tenggara
  27. Sat Brimob Polda Sulawesi Selatan-Barat
  28. Sat Brimob Polda Maluku
  29. Sat Brimob Polda Maluku Utara
  30. Sat Brimob Polda Papua

Ditulis Oleh : satbrimob Polda NTBOnco Ngeblog

Artikel BRIGADE MOBIL ini diposting oleh satbrimob Polda NTB pada hari Desember 07, 2010. Terimakasih atas kunjungan Anda serta kesediaan Anda membaca artikel ini. Kritik dan saran dapat anda sampaikan melalui kotak komentar.

:: Get this widget ! ::

Tidak ada komentar: